Skip to content

KOLABORASI INTERPROFESIONAL

Oleh Fitriana Puspitarani, MPH.
Epidemiologi Lapangan
Pencerah Nusantara 6
Puskesmas Sukarami, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan

image by scrubsmag.com

Tahun 2018 adalah pengalaman pertama saya bekerja jauh dari tempat tinggal saya di Jawa Tengah, setelah mendaftar program Pencerah Nusantara angkatan 6 yang diselenggarakan oleh sebuah NGO (National Government Organization) bernama CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) dan melewati rangkaian seleksi hingga bisa terpilih dari lebih dari 6 ribu pendaftar. Pengalaman itu juga merupakan kali pertama saya bekerja dalam sebuah tim kolaborasi intraprofesional, yang berarti saya harus berbagi tugas dan pikiran bersama 2 orang dengan profesi berbeda, yaitu dokter dan bidan.

Sebagai satu-satunya orang dengan profesi non-klinisi di tim, kami berbagi peran dimana saya dan rekan bidan saya melakukan pendekatan di komunitas masyarakat, sementara rekan dokter saya melakukan pendekatan di sisi tenaga kesehatan di layanan kesehatan primer (puskesmas) tempat kami ditugaskan.

Saat kami ditugaskan di Puskesmas Sukarami, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, angka kekurangan nutrisi pada anak mencapai 19,8% dan angka gizi buruk mencapai 10,9%. Angka ini termasuk tinggi dan karenanya menjadi sorotan di Kabupaten Muara Enim dan nasional. Selain itu ditemukan juga kasus stunting. Dokter Pencerah Nusantara berkolaborasi dengan ahli gizi puskesmas menyusun formula F-75 dan F-100 untuk perawatan pasien gizi buruk di puskesmas dan mengidentifikasi sarana prasana yang tersedia di puskesmas, sementara saya dan rekan bidan banyak berperan dalam pemberdayaan modal sosial masyarakat lokal dalam mendukung upaya pelaksanaan posyandu di desa. 

Perjalanan kami dimulai dengan mengidentifikasi dan menguatkan peran kader, selanjutnya mengidentifikasi sarana dan prasana posyandu yang seharusnya disediakan oleh desa alih-alih puskesmas, dan mengidentifikasi tokoh kunci yang dapat mendukung langkah perbaikan. Temuan dari upaya-upaya yang telah disebutkan sebelumnya kemudian kami ramu bersama menjadi sebuah bahan advokasi kepada lintas sektor, baik di tingkat desa sampai tingkat kabupaten.

Kami juga mengupayakan advokasi dilakukan oleh pegawai puskesmas (baik pegawai tetap maupun honorer) setelah sebelumnya dilakukan identifikasi pegawai puskesmas yang bertempat tinggal di 17 desa di Kecamatan Sukarami. Kami melakukan pelatihan berkala dengan bahan paket advokasi dan selanjutnya melakukan pendekatan dengan kepala desa agar mengikutsertakan pegawai puskesmas dalam musyawarah dana desa yang dilakukan menjelang akhir tahun.

Sementara pendekatan di pembuat kebijakan di tingkat Kabupaten Muara Enim, dilakukan oleh rekan dokter Pencerah Nusantara yang saat itu seringkali diminta untuk menghadiri acara rapat ataupun pertemuan di tingkat kabupaten. Karena sebelumnya kami telah mengidentifikasi tokoh kunci, maka advokasi berhasil dilakukan dan hasilnya pengaturan komponen kesehatan spesifik diwajibkan ada di dalam proposal dana desa. Tidak hanya di desa yang menjadi intervensi pencerah nusantara, melainkan di seluruh desa di Kabupaten Muara Enim. Terjadi pula peningkatan anggaran dana desa untuk kesehatan dari yang semula 10 juta setiap tahun menjadi lebih dari 50 juta setiap tahunnya. Komponen dana desa untuk kesehatan ini juga beragam peruntukannya, dari penyediaan sarana dan prasarana posyandu hingga pembiayaan insentif kader posyandu desa. 

Dari perjalanan tim kami di bumi serasan sekundang, banyak hal yang kemudian membentuk pemikiran kami yang saat itu datang sebagai fresh graduate tenaga kesehatan, untuk bekerja dalam lingkup kolaborasi. Karena upaya perbaikan kesehatan masyarakat adalah tanggungjawab semua orang dan institusi, tidak hanya institusi dan tenaga kesehatan saja, terutama puskesmas yang menjadi lini pertama yang paling dekat dengan masyarakat.

Pun sebaliknya, tenaga kesehatan tidak seharusnya mengesampingkan institusi maupun perorangan di luar sektor kesehatan, dari akar rumput (grass root) hingga level tertinggi pembuat kebijakan. Dalam hal ini, para dokter pun bisa berperan tidak hanya dalam upaya kuratif, namun juga preventif dengan memberikan pemikiran-pemikiran serta edukasi secara terus menerus. Dokter tidak seharusnya terkotakkan dengan pemikiran patient-oriented tetapi juga melihat komunitas masyarakat sebagai entitas yang dapat mendukung upaya kesehatan bersama. Karena pembangunan kesehatan adalah upaya Kerjasama, bukan kerja perorangan.

Tags: