Skip to content

dr. Reza Abdussalam, Sp. A.

Pediatric Specialist
Liaison Officer on Medical Education CIMSA FK UNS 2005/2006
National Officer on Medical Education CIMSA 2006/2007

     Meet Our Figure kali ini mengusung topik spesialis anak dibalut dengan pembahasan yang seru dan menarik bersama dr. Reza Abdussalam, Sp. A. Beliau merupakan salah satu alumni dari SCOME CIMSA FK UNS dan pernah menjabat sebagai LOME pada tahun kepengurusan 2005/2006 serta NOME pada tahun kepengurusan 2006/2007. Pada saat ini dr. Reza bekerja sebagai dokter spesialis anak di RSIA Brawijaya Antasari Jakarta Selatan.

    Sudah umum rasanya apabila mahasiswa kedokteran memiliki pandangan ingin menjadi spesialis apa kelak, begitu juga yang pernah dialami oleh dr. Reza selama berkuliah. Siapa sangka dr. Reza yang saat ini menjadi dokter spesialis anak, ternyata dulunya malah tertarik untuk menjadi radiolog atau bekerja di bidang patologi klinis. Bagi dr. Reza, sah-sah saja apabila memiliki pandangan dari awal untuk menentukan spesialis yang akan diambil nantinya. Namun, ketika menjadi dokter umum, pandangan kita sebagai mahasiswa kedokteran nantinya akan sangat berubah karena terjun langsung di masyarakat, bertemu dengan fenomena yang sebenarnya. Begitu pula yang dirasakan oleh dr. Reza, ketika telah menjadi dokter umum, beliau masih menemukan adanya ketimpangan fasilitas kesehatan di Indonesia antara satu daerah dengan daerah lainnya, terutama bagi kesehatan anak. Saat menjalani program PTT (pegawai tidak tetap) yang saat ini dikenal dengan program Nusantara Sehat, di daerah Anambas, Provinsi Riau, beliau melihat banyak kejadian disana yang berhubungan dengan bagian anak. Beliau mendapat banyak skills dan pengalaman yang yang mendasari beliau untuk kemudian bertekad dan terus belajar untuk mengejar spesialis anak.

         Bagi dr. Reza, mendapatkan gelar sebagai dokter spesialis anak tentu tidak didapatkan dengan cara yang instan. Perlu adanya niat dan juga ikhtiar jika ingin mengejar suatu hal. Kita bisa melakukan persiapan nantinya dengan mencari dukungan dan izin, terutama dari orang tua, memperbanyak relasi sehingga nantinya mudah untuk mencari informasi terkait, dan yang tak kalah penting adalah mempersiapkan kesabaran karena semua tentu butuh proses. Lalu, ada serangkaian tes khusus yang nantinya harus dilewati untuk mendapat gelar spesialis anak, antara lain adalah tes TOEFL, tes dari universitas, dan tes tulis. Untuk maksimal umur mengambil spesialis adalah 35 tahun untuk beberapa prodi, dan biasanya hambatan sering ditemukan apabila ketika nantinya kita sedang menjalani profesi dokter umum lalu bekerja di luar kota maka harus berkorban dan membagi waktu antara pekerjaan dan persiapan tes, bisa dibilang bahwa semua persiapan ini memang memakan waktu, maka niat dan tekad yang kuat tentunya sangat diperlukan. Dokter Reza juga menambahkan, bahwa doa dan juga restu dari orang tua merupakan faktor yang paling penting.

      Bagi yang belum tahu, ternyata kegiatan belajar di preklinik dan saat mengambil spesialis itu beda banget, loh! Saat preklinik, kita lebih belajar ke dasar-dasar dari suatu penyakit dari sumber-sumber yang ada. Namun, saat residensi atau saat mengambil spesialis, kita dipacu untuk mencocokkan dengan keadaan yang real di masyarakat. Kita lebih dituntut untuk mengetahui lebih jauh mengenai kausa, gejala klinis, dan juga outcome dari suatu kasus. Meskipun begitu, keduanya, baik itu preklinik maupun residensi kita dituntut untuk proaktif dan update dengan penyakit-penyakit terkini yang relevan di masyarakat.

   Dalam kesempatan ini, dr. Reza juga membagikan pengalamannya saat menjalani program PPDS di UNS. Pada saat itu, beliau dikirim ke Nusa Tenggara Timur selama dua bulan dan juga ke Papua Barat. Beliau banyak belajar kasus yang tidak banyak ditemui di daerah Jawa seperti kasus malaria, bayi dengan ibu yang sifilis, dan lain sebagainya. Beliau menyadari bahwa dinamika kesehatan terutama kesehatan anak sangatlah beragam di Indonesia ini. Dari pengalaman tersebut, dr. Reza juga menambahkan bahwa ada suatu kebanggaan tersendiri yang dirasakan apabila pasien yang ditangani saat kembali untuk kontrol sudah menunjukkan tanda-tanda membaik dan tumbuh kembangnya bagus.

    Pasti kita tahu, ya. Pasien anak-anak tentu memiliki penanganan yang berbeda dengan pasien dewasa dan inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi dr. Reza. Beliau mengatasi hal tersebut dengan melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada orang tua, karena kembali lagi orang tua lah yang lebih tau mengenai anaknya. Terkadang, beliau juga bertanya kepada anak dengan nada yang ramah dan juga banyak tersenyum agar si anak merasa nyaman. dr. Reza juga sangat senang apabila ada orang tua dari pasien anak yang dr. Reza secara personal via handphone karena bagi beliau hal tersebut merupakan salah satu cara seorang dokter anak untuk lebih menenangkan para orang tua.

     Hambatan untuk menjadi dokter anak di masa sekarang menurut dr. Reza, antara lain adanya tuntutan untuk selalu update ilmu karena zaman sekarang orang tua sudah banyak mengalami kemajuan pengetahuan. Kerap kali para orang tua sudah mencari tahu terkait penyakit dan terapi untuk anaknya sehingga terapi-terapi yang diinginkan adalah yang terbaru. Selain itu, ada kalanya keinginan orang tua berbeda dengan anjuran dokter, semisal menurut dokter tidak perlu diberikan antibiotik namun orang tua masih memaksa untuk anaknya minum antibiotik sehingga beliau perlu menjelaskan ulang kepada orang tua agar bisa sepaham. Yang terpenting dalam situasi ini adalah sebagai seorang dokter wajib bisa mengedukasi dan mengomunikasikan kepada orang tua pasien anak terhadap faktor risiko terapi yang akan diambil dengan bahasa yang baik.

  Dokter Reza juga tidak lupa untuk membagikan pengalamannya ketika menjalani PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang di organize oleh Departemen Kesehatan. Program ini membuka 2-3 kali pendaftaran per tahunnya. Untuk program PTT sendiri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu PTT pusat dan PTT daerah. PTT pusat dikelola oleh Departemen Kesehatan, pendaftar mengirimkan berkas dan memilih daerah tujuan, sedangkan untuk pendaftaran PTT daerah biasanya diajak atau close recruitment. Kebetulan dr. Reza pernah diajak seniornya untuk mengikuti PTT daerah, karena sedang dibutuhkan tenaga kesehatan di Kepulauan Anambas, saat itu disana ada kabupaten baru yang merupakan hasil dari pemekaran dan membutuhkan dokter untuk bekerja. Sebagai PTT daerah artinya harus berkomitmen dan mau bekerja sama dengan daerah tersebut untuk mengembangkan dan meningkatkan taraf kesehatan disana. Lalu, dr. Reza bekerja di puskesmas di kepulauan tersebut. Alasan beliau untuk mengikuti program ini antara lain untuk mencari pengalaman dan merasakan berpetualang ke sekeliling Indonesia. Ternyata, dr. Reza merupakan pribadi yang senang travelling juga, jadi beliau menjalani program PTT dengan senang hati sambil menjalankan hobinya.

      Bagi dr. Reza, ada 2 program PTT yang berkesan untuk beliau. Salah satunya adalah ketika di Kepulauan Anambas pada tahun 2010. Beliau menjalani program PTT sekitar 6 bulan, ada kabupaten baru yang baru saja disahkan di tahun 2009/2010 dan beliau merasa tertegun. Kepulauan ini jauh sekali ada di ujung hampir perbatasan dekat Kepulauan Natuna dan juga kultur disana hampir sama seperti orang Malaysia, bahasanya menggunakan bahasa Melayu, maka perlu menyesuaikan juga. Beliau bekerja di puskesmas sebagai dokter jaga di daerah selatan. Sedangkan ibu kota kabupatennya, yaitu Tarepa, terlampau jauh dari puskesmas tersebut dan untuk menuju kesana harus naik terlebih dahulu sekitar 5-6 jam menggunakan kapal warga yang kecil lewat laut. Selain itu, dr. Reza juga harus meng-cover pekerjaan di suatu puskesmas di berbagai  pulau dan pada saat itu juga tidak terdapat sinyal. Di sana juga menggunakan genset yang merupakan iuran dari warga dan hanya bisa dipakai dari jam 6-10 malam, di luar jam tersebut hanya memanfaatkan cahaya bulan dan lampu tempel. Menurut beliau ini adalah suatu pengalaman yang sangat berkesan.

      Pada masa pandemi ini, menurut dr. Reza, orang tua jadi semakin takut keluar rumah sehingga angka imunisasi anak juga semakin menurun. Padahal, imunisasi merupakan salah satu aspek penting dalam mencegah penyakit anak. Sekarang ini, karena banyak orang tua yang takut keluar rumah akhirnya banyak yang menunda-nunda imunisasi dan ini perlu dikejar. Saat ini, selain COVID-19, banyak juga beberapa penyakit yang booming, contohnya DBD. Keduanya hampir mirip sehingga dokter harus bisa memastikan dengan meng-screening lebih ketat apakah pasien anak tersebut pasien COVID-19 atau bukan karena rumah sakit tempat dr. Reza berjaga juga bukanlah rumah sakit rujukan. Selain itu, karena ini musim pancaroba sehingga marak pula diare, batuk, dan pilek pada anak-anak.

      Terakhir, ada take home message nih yang mau dr. Reza tambahkan buat kita, mahasiswa kedokteran, atau teman sejawat yang belum mengambil program spesialis. Doa dan restu dari orang tua adalah aspek yang paling penting. Kita harus sadar bahwa jalan yang sudah kita tempuh sekarang adalah sebuah tanggung jawab, jadi kita harus menjalaninya dengan baik dan juga up-to-date dengan perkembangan ilmu. Yang penting, kita harus menjalani semuanya dengan maksimal agar dapat hasil yang maksimal pula. Jangan lupa berorganisasi juga, ya! Berdasar pengalaman dr. Reza, dengan mengikuti organisasi, salah satunya adalah CIMSA, beliau jadi bisa kenal dengan banyak sejawat yang sekarang menjadi orang penting, sehingga kita punya akses dan kita suatu saat bisa minta bantuan mereka. Jangan takut kalau organisasi akan mengacaukan, banyak kok yang ikut organisasi dan bisa sukses. 

Sekian untuk Meet Our Figure kali ini, semoga teman-teman bisa dapat insight baru dan bisa menyusul kesuksesan dr. Reza!

Sincerely,
CIMSA FK UNS
CIMSA
Empowering Medical Student
Improving Nation’s Health